Spesial Dari Redaksi

Tangisan Politik

Oleh : Tohir Bawazir

Menangis bukan monopoli anak kecil, dan tidak harus diidentikkan dengan anak kecil. Orang dewasa tetap butuh menangis ketika menunjukkan ketidakberdayaannya atau kehilangan sesuatu yang dicintainya. Orang-orang shaleh baik yang terdahulu maupun sekarang, sudah terbiasa menangis karena rasa takutnya kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam bersabda, “Ada dua bola mata (manusia) yang tidak akan disentuh api neraka, yaitu mata yang menangis di waktu malam karena takutnya kepada Alllah dan bola mata yang harus menjaga pasukan fi sabilillah di malam hari.”

Ketakutan yang berbuntut tangisan, biasanya ketika orang-orang sholeh dibacakan ayat Al Qur’an yang bercerita tentang kematian, Hari Berbangkit, Padang Mahsyar dan adzab neraka yang sangat menakutkan. Jadi tangisan sudah menjadi bagian kehidupan orang-orang shaleh setiap harinya.

Dikisahkan, ada seorang kakek melihat bocah kecil yang sedang berwudhu di tepi sungai, sambil menangis.  Si kakek bertanya, “Hai bocah, kenapa kamu menangis?” Bocah itu menjawab, “Wahai paman, ketika aku membaca Al Qur’an dan sampai  kepada firman Allah; “Wahai manusia, jauhkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Q.S. At-Tahrim: 6), maka timbullah ketakutanku akan dicampakkan ke dalam api neraka.”  Lalu si kakek berkata, “Wahai bocah kecil, janganlah engkau takut, engkau tidak akan dicampakkan ke dalam neraka, sebab kamu belum baligh, kamu tidak layak masuk neraka.”  Kemudian si bocah kecil itu berkata, “Wahai pak tua, engkaukan berakal, apakah engkau tidak tahu bahwa jika seseorang ingin menyalakan api, ia akan memasukkan kayu  bakar yang kecil lebih dahulu, baru kemudian ia akan memasukkan kayu yang lebih besar.” Seketika itu menangislah si kakek seraya berkata, “Sesungguhnya bocah kecil itu lebih takut kepada neraka dibanding aku.”

Pernah suatu ketika  Rasulullah Sallalahu Alaihi Wassalam menyuruh shahabatnya, Ibnu Mas’ud  Radhiyallahu anhu untuk membacakan Al Qur’an di depan Beliau. Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku membacakan Al Qur’an atas dirimu, padahal ia diturunkan kepadamu?”

Beliau menjawab, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.”

Lalu Ibnu Mas’ud membacakan surat An-Nisa’. Tatkala sampai ayat 41: “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)?”, beliau berkata, “Sekarang cukup!”

Ibnu Mas’ud berkata, “Lalu aku menengok ke arah beliau,  ternyata kedua mata beliau meneteskan air mata.”

Menurut para ulama, tangisan beliau terkait tugas Rasul yang sangat berat yang harus memberikan kesaksian terhadap setiap perbuatan pengikutnya, nanti di Hari Persidangan.

Banyak menangis ternyata sangat diperlukan, supaya hati  kita ini lembut. Bahkan sering menangis karena mengingat Allah dan mengingat kematian, menandakan hati kita sehat . Bagi yang hatinya keras dan berkarat, akan kesulitan untuk menangis. Untuk itu diperlukan pembiasaan  positif ini agar hati kita bisa segar kembali dengan mengingat dosa-dosa, mengingat kematian dan mengingat siksaan neraka.

Namun, ternyata bagi para politisi tangisan juga dapat digunakan sebagai alat  politik. Banyak momentum politik, dapat menggunakan senjata tangisan untuk memperoleh tujuan-tujuan politik yang diinginkannya. Karena tangisan dapat dipakai sebagai senjata membakar emosi masyarakat yang akan digiringnya. Tinggal diatur bagaimana mengatur irama “tangisan” agar dapat memperoleh tujuan yang ingin dicapainya.

Peristiwa pembunuhan seorang tokoh panutan, peristiwa penderitaan rakyat akibat derita ekonomi, dapat dijadikan komoditas tangisan di tangan politisi yang handal untuk meraih tujuan politik yang diinginkannya. Sejarah di masa lampau maupun peristiwa terkini, dapat dijadikan contoh, ternyata ‘tangisan’ sangat dibutuhkan sebagai salah salah satu alat  politik.

Ketika ada peristiwa terbunuhnya seorang khalifah Islam yang dikenal sholeh, ternyata bagi seorang politisi, “tangisan kematian”  berhasil dijadikan sebagai komoditas politik untuk memobilisasi massa untuk merebut kekuasaan politik yang diinginkannya. Bahkan pula, ada sebagian sekte Islam, yang  “merayakan tangisan”  pada setiap tahunnya peristiwa pembunuhan seorang  tokoh penghulu surga yang dibunuh dengan kejam oleh kaum pendurhaka. Tangisan mereka ini entah murni kesedihan atau kental nuansa politiknya, seolah “ritual tangisan”   menjadi bagian yang sangat penting bahkan wajib sebagai bentuk identitas kelompok mereka dan sebagai bagian dari ibadah itu sendiri. Sebab peristiwa tangisan tersebut, sudah dijadikan sebagai merek dagangan untuk mempengaruhi masyarakat dan menjual identitas sektenya.

Jadi, dunia selain mengenal alat persenjataan modern, ternyata “tangisan ” di mata politisi  juga sebagai  senjata untuk menaklukkan dan memperdaya hati masyarakat. Bagi politisi, setiap ada penderitaan ekonomi rakyat  seperti misalnya adanya kenaikan BBM, adanya kenaikan harga-harga dan sebagainya, selama yang melakukan adalah lawan politiknya, maka mereka dapat menggunakan senjata tangisan ini untuk memperoleh simpati masyarakat. Perkara kalau dia yang berkuasa, juga akan melakukan hal yang sama, bahkan bisa lebih buruk lagi, itu bukan hal yang penting. Yang penting tangisan politik harus dimainkan untuk memperoleh simpati masyarakat.

Tangisan para politisi ini, tak ubahnya seperti tangisan palsu saudara-saudara Nabi Yusuf Alaihissalam di hadapan ayahnya, Nabi Ya’kub Alaihissalam yang mereka menangisi hilangnya adik mereka.  Itulah air mata buaya.